Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek penilaian, yaitu Aspek Pengetahuan, Aspek Ketrampilan, dan Aspek Sikap dan Perilaku. Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Materi yang dirampingkan terlihat ada di Materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn, dsb, sedangkan materi yang ditambahkan adalah Materi Matematika. Materi pelajaran tersebut terutama Matematika disesuaikan dengan materi pembelajaran standar Internasional sehingga pemerintah berharap dapat menyeimbangkan pendidikan di dalam negeri dengan pendidikan di luar negeri.
Pengetahuan
Aspek pengetahuan merupakan aspek
yang ada di dalam materi pembelajaran untuk menambah wawasan siswa di suatu
bidang. Di dalam struktur kurikulum ini, jenjang SD memiliki bobot pengetahuan
sebanyak 20% dan 80% aspek karakter, jenjang SMP memiliki bobot pengetahuan 40%
dan 60% aspek karakter, dan jenjang SMA memiliki bobot pengetahuan 80% dan 20%
aspek karakter. Kurikulum 2013 memang diintegrasikan dengan pendidikan karakter
yang sebelumnya telah dicanangkan pemerintah sebelum terbentuknya kurikulum
ini.
Keterampilan
Aspek Ketrampilan bertujuan untuk
meningkatkan ketrampilan siswa dalam membuat, melaksanakan, dan mengerjakan
suatu soal atau proyek sehingga siswa dapat terlatih sifat ilmiah dan karakter
yang merujuk pada aspek ketrampilan. Aspek ketrampilan dapat berupa ketrampilan
pengerjaan soal, ketrampilan pengerjaan dan pelaksanaan proyek, ketrampilan
membuat teks, dan ketrampilan dalam menjawab soal lisan.
Sikap dan Perilaku
Aspek penilaian sikap dan perilaku
merupakan aspek penilaian dengan menilai sikap dan perilaku peserta didik
selama proses pembelajaran. Aspek penilaian ini dinilai oleh guru dalam jurnal
harian, teman sejawat dalam sebuah lembaran nilai, dan oleh diri sendiri
Pada tanggal 15 Juli 2013 lalu, Pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), telah ‘menyuarakan’ agar
sekolah-sekolah di seantero Indonesia mengimplementasikan kurikulum 2013
(K-13). Ini menambah panjang rentetan sejarah pergantian kurikulum di Indonesia
menjadi sepuluh kali. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kurikulum yang
pernah diterapkan di Indonesia antara lain, kurikulum rentjana pelajaran (1947-1968);
kurikulum tahun 1947 (rentjana pelajaran 1947), kurikulum 1952 (rentjana
peladjaran terurai 1952), rentjana peladjaran 1964, kurikulum 1968, kurikulum
berorientasi pencapaian tujuan (1975-1994); kurikulum 1975, kurikulum 1984,
kurikulum 1994, kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004, kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) 2006 dan K-2013.
Ketika K-13 diterapkan, ada
segelintir kalangan yang gelisah, takut, protes, hingga menolak. Pada saat yang
sama, ada banyak kalangan yang senang dan menerima adanya implementasi K-13.
Meski demikian, penulis tidak ingin membuka ruang kontroversi pada tulisan ini.
Penulis pun meyakini adanya adagium, ‘tidak ada yang kekal di dunia ini,
selain perubahan itu sendiri’. Berangkat dari adagium tersebut, hemat penulis perubahan
kurikulum bisa dikatakan sesuatu yang wajar. Pasalnya, bila ditilik lebih jauh,
maka perubahan dilakukan demi mengatasi kekurangan atau permasalahan pada
kurikulum sebelumnya, dimana Kemendiknas telah melakukan pengkajian (Uji
Publik) terhadap kekurangan atau permasalahan kurikulum sebelumnya dan hal itu
dilakukan demi perubahan yang lebih baik pada K-13.
Adapun dalam Uji Publik tersebut
menemukan beberapa permasalahan yang terjadi pada kurikulum 2006 (KTSP)
diantaranya: (1) Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan
tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (2) Kompetensi belum
menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; (3)
Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan
(misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft
skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum;
(4) Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi
pada tingkat lokal, nasional, maupun global; (5) Standar proses pembelajaran
belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang
penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat
pada guru; (6) Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis
kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi
secara berkala; dan (7) Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih
rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.
Menarik ketika melihat point ke-3
dari permasalahan diatas. Salah satunya terletak pada pendidikan karakter. Ini
berarti Kemendiknas bertujuan menjadikaan pendidikan karakter sebagai prioritas
utama dalam K-13. Tak heran bila K-13 sering disebut sebagai kurikulum
berkarakter (budaya/bangsa). Lantas, apakah kita mengklaim
kurikulum-kurikulum sebelumnya tidak terdapat ‘pendidikan karakter’?
Tentu tidak! Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Samani Muchlas dan Hariyanto
dalam buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter (2012:7) bahwa sejak Orde Lama,
pendidikan karakter sempat mewarnai kurikulum di Indonesia dengan nama
pendidikan budi pekerti yang terintegrasi dalam berbagai bidang studi dengan
landasan pengembangan kebudayaan, pendidikan budi pekerti lebih banyak
ditekankan pada hubungan antar-manusia, antara siswa dan guru, antara siswa dan
orang tua, dan antar siswa”. Ini bertanda bahwa dalam K-13 ini pemerintah
ingin lebih menekankan kehadiran pendidikan karakter.
Urgensi Pendidikan Karakter
Sejalan dengan penjelasan diatas,
Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh pun telah menegaskan penting dan mendesaknya
pendidikan karakter. Hal itu telah dimulai pada tahun 2011, bertepatan dengan
Hari Pendidikan Nasional. Tema peringatan Hardiknas kala itu yakni, ‘Pendidikan
Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa’ dengan Subtema ‘Raih Prestasi,
Junjung Tinggi Budi Pekerti’. Ini sebagai bentuk ‘concern’ pemerintah terhadap
urgennya pendidikan karakter, menyusul adanya perilaku pelajar kita dewasa ini
yang kontras dengan tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003
Pasal 3 tentang SISDIKNAS, yang mengutamakan pengembangan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Selain itu, perilaku (attutude)
pelajar kita pun tidak sejalan dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang oleh
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan
Nasional dalam Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011) dalam Samani
Muchlas dan Hariyanto (2012:52) yang bersumber dari agama, pancasila
budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yakni: (1) Religius, (2) Jujur, (3)
Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8)
Demokratis, (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah
Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikasi, (14) Cinta Damai,
(15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18)
Tanggung Jawab.
Perilaku kontra-nilai-nilai
pendidikan karakter ini seiring rendahnya budaya disiplin dan tertib belajar di
sekolah, dan di rumah yang semakin menurun, meningkatnya jumlah siswa yang
bolos dan absen saat jam pelajaran, meningkatnya kelompok komunitas geng motor
yang setiap kali ‘ugal-ugalan’ dijalan-jalan protokol, adanya budaya menyontek
hingga plagarisme (plagiat). Selain itu, Tempo
Interaktif, 27/8/2009) dalam Samani Muchlas
dan Hariyanto dalam buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter (2012:2) pun mengemukakan
makin meningkatnya tawuran antar- pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja
lainnya terutama di kota-kota besar, pemerasan, kekerasan (bullying-red), kecenderungan dominasi senior terhadap yunior dan
berbagai fenomena buruknya karakter pelajar kita. Pada kondisi yang redup ini,
pendidikan karakter perlu diperkuat di setiap lembaga pendidikan, mulai dari
Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Pertanyaan yang kemudian
muncul adalah, siapa yang paling berperan dalam memperkuat serta ‘membumikan’
nilai-nilai pendidikan karakter dalam K-13
Peran Guru
Upaya ‘membumikan’ nilai-nilai
pendidikan karakter memang membutuhkan peran dan tanggung jawab semua
stakeholders, mulai dari pemerintah, orang tua siswa, pemerhati pendidikan, tokoh
masyarakat maupun tokoh agama. Namun, tidak berlebihan jika melalui K-13 peran
guru pelu lebih diutamakan. Mengingat, guru menjadi ‘aktor’ utama dalam
mengimplementasikan K-13 melalui pendidikan formal di sekolah (kelas), sehingga
sosok guru sangat dibutuhkan dan begitu penting dalam mengejahwantahkan
nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam tiga domain atau ranah pendidikan,
yakni kognitif (pengetahuan), afektif (sikap, perilaku), dan psikomotor
(keahlian atau ketrampilan) dari output belajar siswa. Tak pelak, guru menjadi tumpuan utama dalam
‘membumikan’ pendidikan karakter, khsusnya melalui ranah afektif dan psikomotor
dalam K-2013. Karena harus diakui, selama ini banyak kalangan menilai ranah
afektif dan psikomotor seakan ‘mati suri’ ketimbang ranah kognitif.
Betapa tidak, para guru begitu
bangga ketika anak didiknya justru mampu menghafal banyak catatan, materi serta
konsep-konsep pelajaran yang diajarkan serta menyimpannya dalam otak mereka,
ketimbang berinovasi, mempraktikan dan melakukan konsep atau teori yang telah
disimpan dalam otak. Tentu, dalam implementasi K-13 ini, sudah saatnya materi
serta konsep-konsep tersebut diimplementasikan dalam keseharian peserta didik,
baik dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Sehingga ketiga domain
tersebut dapat berjalan ‘seimbang’ dan ‘seiring’. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah, bagaimana guru melihat dan menilai sikap mupun keahlian
peserta didik (pada ranah afektif dan psikomotor) ketika mereka berada
dilingkungan masyarakat?
Hal ini agaknya sulit. Namun pada
kondisi ini, guru harus mampu melihat dan menilai peserta didiknya, dengan
kompetensi sosial yang dimiliki, yakni bagaimana menjaga hubungan baik dengan
lingkungan sosial, masyarakat maupun orang tua siswa, serta kompetensi personal
yang dimiliki, yakni bagaimana menunjukkan kepribadian (personality-red) dan attitude (sikap-red) yang baik kepada anak didik. Hal ini untuk lebih
mengetahui serta menilai perilaku dan ‘tindak-tanduk’ pelajar, baik di
lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat, dan pada saat yang sama guru
pun hadir dan menunjukkan sikap dan teladan yang baik bagi peserta didik.
Tidak hanya sampai disitu saja,
peran guru bimbingan konseling (BK) pun tidak bisa diabaikan begitu saja, namun
sangat diharapkan. Bila kita mau jujur, selama ini peran guru BK belum maksimal
di semua sekolah seantero Indonesia. Hal ini terbukti ada sejumlah sekolah di
Indonesia bahkan di NTT belum merekrut tenaga guru BK murni (guru
berkualifikasi BK) untuk mengabdi di sekolah. Meskipun ada, kehadiran mereka
justeru hanya melengkapi struktur organisasi sekolah dan bahkan ada yang
tugasnya hanya membantu menyeleseikan tugas kepala sekolah, dan komite sekolah
untuk mengurusi ‘tetekbengek’ sekolah yang jauh dari tugas pokoknya. Sungguh
ironis!
Realitas ini berbeda dengan Sistem
Pendidikan di negara Finlandia. Lihat saja, Pemerintah Finlandia tidak hanya
fokus mempersiapkan tenaga guru yang berkualitas, tetapi juga sangat ‘jeli’
mempersiapkan guru yang secara khusus ‘menangani masalah personal peserta didik
dan perilakunya’. Tidak mengherankan bila hal ini menjadi salah satu faktor
penentu yang membuat Sistem Pendidikan di sana, justru diplot sebagai
yang terbaik sejagad pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD). Saya harus mengancungkan jempol dan mengakui keunggulan
sistem pendidikan di negara Finlandia, dan itu patut dicontoh dan ditiru. Oleh
karena itu, bila kita ingin memperbaiki karakter anak-anak bangsa yang kian
hari semakin buruk, bobrok, dan jauh dari nilai-nilai religius maupun
nilai-nilai budaya bangsa. Maka, peran guru kelas, guru mata pelajaran dan
peran guru BK untuk menangani masalah personal peserta didik dan perilakunya
melalui implementasi K-13 adalah mutlak.
0 comments:
Posting Komentar