Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern
dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan
ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud
meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan
mencipta untuk semua mata pelajaran. Untuk mata pelajaran, materi, atau
situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat
diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran
harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari
nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan ilmiah pembelajaran
disajikan berikut ini.
1.
Mengamati
Metode mengamati
mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning).
Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek
secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya.
Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan
waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika
tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Metode mengamati
sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses
pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta
didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan
materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan
mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti
berikut ini.
a. Menentukan
objek apa yang akan diobservasi
b.
Membuat pedoman observasi sesuai dengan
lingkup objek yang akan diobservasi
c.
Menentukan secara jelas
data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
d.
Menentukan di mana tempat objek yang
akan diobservasi
e.
Menentukan secara jelas bagaimana
observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar
f.
Menentukan cara dan melakukan
pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera,
tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi dalam proses pembelajaran
meniscayakan keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru
harus memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.
a.
Observasi biasa (common observation).
Pada observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan
subjek yang sepenuhnya melakukan observasi (complete observer). Di sini
peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau
situasi yang diamati.
b.
Observasi terkendali (controlled
observation). Seperti halnya observasi biasa, padaobservasi
terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didiksama sekali tidak
melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati.Merepa juga
tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang
diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi
terkendalipelaku atau objek yang diamati ditempatkan pada ruang atau
situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada pembelajaran dengan observasi
terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau eksperimen atas diri pelaku
atau objek yang diobservasi.
c.
Observasi partisipatif (participant
observation). Pada observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri
secara langsung dengan pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi
semacam ini paling lazim dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya
etnografi. Observasi semacam ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri
pada pelaku, komunitas, atau objek yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa,
misalnya, dengan menggunakan pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan
“bermukim” langsung di tempat subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu
tertentu pula untuk mempelajari bahasa atau dialek setempat, termasuk
melibakan diri secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.
Selama proses pembelajaran, peserta didik dapat melakukan
observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua cara pelibatan dimaksud
yaitu observasi berstruktur dan observasi tidak berstruktur, seperti dijelaskan
berikut ini.
a.
Observasi berstruktur. Pada
observasi berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, fenomena subjek, objek,
atau situasi apa yang ingin diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan
oleh secara sistematis di bawah bimbingan guru.
b.
Observasi tidak berstruktur. Pada
observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak
ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus diobservasi oleh
peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau
mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang
diobservasi.
Praktik observasi dalam pembelajaran hanya akan efektif
jika peserta didik dam guru melengkapi diri dengan dengan alat-alat pencatatan
dan alat-alat lain, seperti: (1) tape recorder, untuk merekam pembicaraan; (1)
kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara visual; (2) film atau video,
untuk merekam kegiatan objek atau secara audio-visual; dan (3) alat-alat lain
sesuai dengan keperluan.
Secara lebih luas, alat atau instrumen yang digunakan
dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist), skala
rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record),
catatan berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Daftar cek
dapat berupa suatu daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek, atau faktor-
faktor yang akan diobservasi. Skala rentang , berupa alat untuk mencatat
gejala atau fenomena menurut tingkatannya. Catatan anekdotalberupa catatan yang
dibuat oleh peserta didik dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang
ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi. Alat mekanikalberupa
alat mekanik yang dapat dipakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa
tertentu yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh guru dan
peserta didik selama observasi pembelajaran disajikan berikut ini.
a.
Cermat, objektif, dan jujur serta
terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran.
b.
Banyak atau sedikit serta homogenitas
atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang diobservasi. Makin banyak
dan hiterogensubjek, objek, atau situasi yang diobservasi, makin sulit kegiatan
obervasi itu dilakukan. Sebelum obsevasi dilaksanakan, guru dan peserta
didik sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
c.
Guru dan peserta didik perlu memahami
apa yang hendak dicatat, direkam, dan sejenisnya, serta bagaimana membuat
catatan atas perolehan observasi.
2.
Menanyakan
Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk
meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya.
Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta
didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya,
ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan
pembelajar yang baik.
Berbeda dengan
penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk
memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk
“kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya
menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri
kalimat yang efektif? Bentuk pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat
efektif!
a.
Fungsi bertanya
- Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran.
- Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran.
- Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif
belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri.
- Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus
menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya.
- Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya
atas substansi pembelajaran yang diberikan.
- Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara,
mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan
menggunakan bahasa yang baik dan benar.
- Mendorong partisipasipeserta didik dalam berdiskusi,
berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik simpulan.
- Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan
menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan
toleransi sosial dalam hidup berkelompok.
- Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat,
serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul.
- Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan
kemampuan berempati satu sama lain.
b.
Kriteria pertanyaan yang baik
- Singkat dan jelas.Contoh: (1) Seberapa jauh pemahaman Anda mengenai
faktor-faktor yang menyebabkan generasi muda terjerat kasus narkotika dan
obat-obatan terlarang? (2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan generasi muda
terjerat kasus narkotika dan obat-obatan terlarang? Pertanyaan kedua lebih
singkat dan lebih jelas dibandingkan dengan pertanyaan pertama.
- Menginspirasi jawaban. Contoh: Membangun semangat kerukunan umat beragama itu
sangat penting pada bangsa yang multiagama. Jika suatu bangsa gagal membangun
semangat kerukukan beragama, akan muncul aneka persoalan sosial kemasyarakatan.
Coba jelaskan dampak sosial apa saja yang muncul, jika suatu bangsa gagal
membangun kerukunan umat beragama?Dua kalimat yang mengawali pertanyaan di
muka merupakan contoh yang diberikan guru untuk menginspirasi jawaban peserta
menjawab pertanyaan.
- Memiliki fokus. Contoh: Faktor-faktor apakah yang menyebabkan
terjadinya kemiskinan? Untuk pertanyaan seperti ini sebaiknya masing-masing
peserta didik diminta memunculkan satu jawaban. Peserta didik pertama hingga
kelima misalnya menjawab: kebodohan, kemalasan, tidak memiliki modal usaha,
kelangkaan sumber daya alam, dan keterisolasian geografis. Jika masih tersedia
alternatif jawaban lain, peserta didik yang keenam dan seterusnya, bisa
dimintai jawaban. Pertanyaan yang luas seperti di atas dapat dipersempit,
misalnya: Mengapa kemalasan menjadi penyebab kemiskinan? Pertanyaan
seperti ini dimintakan jawabannya kepada peserta didik secara perorangan.
- Bersifat probing atau divergen.Contoh: (1) Untuk meningkatkan kualitas hasil belajar,
apakah peserta didik harus rajin belajar?(2) Mengapa peserta didik yang sangat
malas belajar cenderung menjadi putus sekolah? Pertanyaan pertama cukup
dijawab oleh peserta didik dengan Ya atau Tidak. Sebaliknya, pertanyaan
kedua menuntut jawaban yang bervariasi urutan jawaban dan penjelasannya, yang
kemungkinan memiliki bobot kebenaran yang sama.
- Bersifat validatif atau penguatan. Pertanyaan dapat diajukan dengan cara
meminta kepada peserta didik yang berbeda untuk menjawab pertanyaan yang
sama. Jawaban atas pertanyaan itu dimaksudkan untuk memvalidsi atau
melakukan penguatan atas jawaban peserta didik sebelumnya. Ketika beberapa
orang peserta didik telah memberikan jawaban yang sama, sebaiknya guru
menghentikan pertanyaan itu atau meminta mereka memunculkan jawaban yang lain
yang berbeda, namun sifatnya menguatkan.
- Memberi kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang.Untuk menjawab pertanyaan dari guru,
peserta didik memerlukan waktu yang cukup untuk memikirkan jawabannya dan
memverbalkannya dengan kata-kata. Karena itu, setelah mengajukan pertanyaan,
guru hendaknya menunggu beberapa saat sebelum meminta atau menunjuk peserta
didik untuk menjawab pertanyaan itu. Jika dengan
pertanyaan tertentu tidak ada peserta didik yang bisa menjawah dengan baik,
sangat dianjurkan guru mengubah pertanyaannya. Misalnya: (1) Apa faktor picu
utama Belanda menjajah Indonesia?; (2) Apa motif utama Belanda menjajah Indonesia?
Jika dengan pertanyaan pertama guru belum memperoleh jawaban yang memuaskan,
ada baiknya dia mengubah pertanyaan seperti pertanyaan kedua.
- Merangsang peningkatan tuntutan kemampuan kognitif. Pertanyaan guru yang baik membuka
peluang peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang makin
meningkat, sesuai dengan tuntunan tingkat kognitifnya. Guru mengemas atau
mengubah pertanyaan yang menuntut jawaban dengan tingkat kognitif rendah ke
makin tinggi, seperti dari sekadar mengingat fakta ke pertanyaan yang menggugah
kemampuan kognitif yang lebih tinggi, seperti pemahaman, penerapan,
analisis, sintesis, dan evaluasi. Kata-kata kunci pertanyaan ini, seperti: apa,
mengapa, bagaimana, dan seterusnya.
- Merangsang
proses interaksi. Pertanyaan
guru yang baik mendorong munculnya interaksi dan suasana menyenangkan pada diri
peserta didik.Dalam kaitan ini, setelah menyampaikan pertanyaan, guru
memberikan kesempatan kepada peserta didik mendiskusikan jawabannya. Setelah
itu, guru memberi kesempatan kepada seorang atau beberapa orang peserta didik
diminta menyampaikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Pola bertanya seperti
ini memposisikan guru sebagai wahana pemantul.
2. Menalar
a. Esensi Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran
dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan
bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam
banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran
adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris
yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.
Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak
selalu tidak bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating;
bukan merupakan terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga
bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam
konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak
merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah
asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide
dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi
penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak,
pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain.
Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu
dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi
merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari
kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran pembelajaran
akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik
dengan peserta didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons
(S-R). Teori ini dikembangan kerdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang
kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran
yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori
Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih khusus
lagi proses belajar peserta didik terjadi secara perlahan atau
inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike mengemukakan berapa
hukum dalam proses pembelajaran.
- Hukum efek (The Law of Effect), di mana
intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses
pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi.
Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta
didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa
tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan melemah. Menurut
Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam
memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang
tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward
akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan
mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
- Hukum latihan (The Law of Exercise).
Awalnya, hukum ini terdiri dari duajenis, yang setelah tahun 1930 dinyatakan
dicabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat
memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu
hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau
berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R
akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang.Menurut
Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement).
Memang, latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah
individu menyadari konsekuensi perilakunya.
- Hukum kesiapan (The Law of Readiness).
Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan menyenangkan atau
tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar
individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika peserta
dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka merekaakan merasa puas.
Sebaliknya, jika pesert didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa
dilakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi.
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam
Operant Conditioning atau pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman
operan adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku
menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi.
Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin
efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin
tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R. Kaidah dasar yang
digunakan dalam teori S-R adalah:
- Kesiapan (readiness).
Kesiapan diidentifikasi berkaitan langsung dengan motivasi peserta didik.
Kesiapan itu harus ada pada diri guru dan peserta didik. Guru harus benar-benar
siap mengajar dan peserta didik benar-benar siap menerima pelajaran dari
gurunya. Sejalan dengan itu, segala sumber daya pembelajaran pun perlu
disiapkan secara baik dan saksama.
- Latihan (exercise). Latihan
merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara berulang oleh peserta
didik. Pengulangan ini memungkinkan hubungan antara S dengan R makin intensif
dan ekstensif.
- Pengaruh (effect). Hubungan yang
intensif dan berulang-ulang antara S dengan R akan meningkatkan kualitas ranah
sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik sebagai hasil belajarnya.
Manfaat hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik dirasakan langsung oleh
mereka dalam dalam dunia kehidupannya.
Kaidah atau prinsip “pengaruh” dalam pembelajaran
berkaitan dengan kemamouan guru menciptakan suasana, memberi penghargaan,
celaan, hukuman, dan ganjaran. Teori S – S ini memang terkesan robotik.
Karenanya, teori ini terkesan mengenyampingkan peranan minat, kreativitas, dan
apirasi peserta didik.
Oleh karena tidak semua perilaku belajar atau pembelajaran
dapat dijelaskan dengan pelaziman sebagaimana dikembangkan oleh Ivan
Pavlov, teori asosiasi biasanya menambahkan teori belajar sosial (social
learning) yang dikembangkan oleh Bandura. Menurut Bandura, belajar terjadi
karena proses peniruan (imitation). Kemampuan peserta didik dalam meniru
respons menjadi pengungkit utama aktivitas belajarnya. Ada empat konsep dasar
teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura.
- Pertama,
pemodelan (modelling), dimana peserta didik belajar dengan cara meniru perilaku
orang lain (guru, teman, anggota masyarakat, dan lain-lain) dan pengalaman
vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain itu.
- Kedua,
fase belajar, meliputi fase memberi perhatian terhadap model (attentional), mengendapkan
hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention), menampilkan
ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction), dan motivasi (motivation)
ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang
mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan.
- Ketiga,
belajar vicarious, dimana peserta didik belajar dengan melihat apakah orang
lain diberi ganjaran atau hukuman selama terlibat dalam perilaku-perilaku
tertentu.
- Keempat,
pengaturan-diri (self-regulation), dimana peserta didik mengamati,
mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.
Teori asosiasi ini sangat efektif menjadi landasan
menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada peserta didik berkenaan dengan
nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif. Dengan cara ini peserta
didik akan melakukan peniruan terhadap apa yang nyata diobservasinya dari
kinerja guru dan temannya di kelas.
Bagaimana aplikasinya dalam proses pembelajaran? Aplikasi
pengembangan aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan daya menalar peserta
didik dapat dilakukan dengan cara berikut ini.
- Guru menyusun bahan pembelajaran dalam bentuk yang sudah
siap sesuai dengan tuntutan kurikulum.
- Guru tidak banyak menerapkan metode ceramah atau metode
kuliah. Tugas utama guru adalah memberi instruksi singkat tapi jelas dengan
disertai contoh-contoh, baik dilakukan sendiri maupun dengan cara simulasi.
- Bahan pembelajaran disusun secara berjenjang atau
hierarkis, dimulai dari yang sederhana (persyaratan rendah) sampai pada yang
kompleks (persyaratan tinggi).
- Kegiatan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat
diukur dan diamati
- Seriap kesalahan harus segera dikoreksi atau diperbaiki
- Perlu dilakukan pengulangan dan latihan agar perilaku
yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan atau pelaziman.
- Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang nyata
atau otentik.
- Guru mencatat semua kemajuan peserta didik untuk
kemungkinan memberikan tindakan pembelajaran perbaikan.
a.
Cara menalar
Seperti telah dijelaskan di muka, terdapat dua cara
menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif
merupakan cara menalardengan menarik simpulan dari fenomena atau
atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara
induktif adalah proses penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata
secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum.Kegiatan
menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau
pengalaman empirik.
Contoh:
- Singa binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan
cara melahirkan
- Harimau binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan
cara melahirkan
- Ikan Paus binatang berdaun telinga berkembangbiak dengan
melahirkan
- Simpulan: Semua binatang yang berdaun telinga berkembang
biak dengan melahirkan
Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik
simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju
pada hal yang bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola
silogisme. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang
umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang
khusus.
Ada tiga jenis silogisme, yaitu silogisme kategorial,
silogisme hipotesis, silogisme alternatif. Pada penalaran deduktif tedapat
premis, sebagai proposisi menarik simpulan. Penarikan simpulan dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu langsung dan tidak langsung. Simpulan secara
langsung ditarik dari satu premis,sedangkan simpulan tidak langsung ditarik
dari dua premis.
Contoh :
- Kamera adalah barang elektronik dan membutuhkan daya
listrik untuk beroperasi
- Telepon genggam adalah barang elektronik dan membutuhkan
daya listrik untuk beroperas.
- Simpulan: semua barang elektronik membutuhkan daya
listrik untuk beroperasi
b.
Analogi dalam Pembelajaran
Selama proses pembelajaran, guru dan pesert didik sering
kali menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki persamaan. Dengan
demikian, guru dan peserta didik adakalamua menalar secara analogis. Analogi
adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan
sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan.
Berpikir analogis sangat penting dalam pembelajaran,
karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Seperti halnya
penalaran, analogi terdiri dari dua jenis, yaitu analogi induktif dan analogi
deduktif. Kedua analogi itu dijelaskan berikut ini.
Analogi induktif disusun berdasarkan persamaan yang ada
pada dua fenomena atau gejala. Atas dasar persamaan dua gejala atau fenomena
itu ditarik simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau gejala pertama
terjadi juga pada fenomena atau gejala kedua. Analogi
induktif merupakan suatu “metode menalar” yang sangat bermanfaat untuk membuat
suatu simpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti
terdapat pada dua fenomena atau gejala khusus yang diperbandingkan.
Contoh:
Peserta didik Pulan merupakan pebelajar yang tekun. Dia
lulus seleksi Olimpiade Sains Tingkat Nasional tahun ini. Dengan demikian,
tahun ini juga,Peserta didik Pulan akan mengikuti kompetisi pada Olimpiade
Sains Tingkat Internasional. Untuk itu dia harus belajar lebih tekun lagi.
Analogi deklaratif merupakan suatu“metode menalar” untuk
menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena atau gejala yang belum dikenal
atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal.Analogi
deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru, fenomena, atau gejala
menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang
sudah dketahui secara nyata dan dipercayai.
Contoh:
Kegiatan kepeserta didikan akan berjalan baik jika
terjadi sinergitas kerja antara kepala sekolah, guru, staf tatalaksana,
pengurus organisasi peserta didik intra sekolah, dan peserta didik. Seperti
halnya kegiatan belajar, untuk mewujudkan hasil yang baik diperlukan sinergitas
antara ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
c.
Hubungan Antarfenomena
Seperti halnya penalaran dan analogi, kemampuan
menghubungkan antarfenomena atau gejala sangat penting dalam proses
pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di
sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan
antarfenonena atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat.
Hubungan sebab-akibat diambil dengan menghubungkan satu
atau beberapa fakta yang satu dengan datu atau beberapa fakta yang lain.Suatu
simpulan yang menjadi sebab dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat juga
menjadi akibat dari satuatau beberapa fakta tersebut.
Penalaran sebab-akibat ini masuk dalam ranah penalaran
induktif, yang disebut dengan penalaran induktif sebab-akibat. Penalaran
induksi sebab akibat terdiri dri tiga jenis.
- Hubungan sebab–akibat. Pada penalaran
hubungan sebab-akibat, hal-hal yang menjadi sebab dikemukakan terlebih dahulu,
kemudian ditarik simpulan yang berupa akibat.
Contoh:
Bekerja keras, belajar tekun, berdoa, dan tidak putus asa
adalah faktor pengungkit yang bisa membuat kita mencapai puncak
kesuksesan.
- Hubungan akibat–sebab. Pada penalaran
hubungan akibat-sebab, hal-hal yang menjadi akibat dikemukakan terlebih dahulu,
selanjutnya ditarik simpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh :
Akhir-ahir ini sangat marak kenakalan remaja, angka putus
sekolah, penyalahgunaan Nakoba di kalangan generasi muda, perkelahian
antarpeserta didik, yang disebabkan oleh pengabaian orang tua dan ketidaan
keteladanan tokoh masyarakat, sehingga mengalami dekandensi moral secara
massal.
- Hubungan sebab–akibat 1 – akibat 2.
Pada penalaran hubungan sbab-akibat 1 –akibat 2, suatu penyebab dapat
menimbulkan serangkaian akibat. Akibat yang pertama menjadi penyebab, sehingga
menimbulkan akibat kedua. Akibat kedua menjadi penyebab sehingga menimbulkan
akibat ketiga, dan seterusnya.
Contoh:
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, hidupnya
terisolasi. Keterisolasian itu menyebabkan mereka kehilangan akses untuk
melakukan aktivitas ekonomi, sehingga muncullah kemiskinan keluarga yang akut.
Kemiskinan keluarga yang akut menyebabkan anak-anak mereka tidak berkesempatan
menempuh pendidikan yang baik. Dampak lanjutannya, bukan tidak mungkin terjadi
kemiskinan yang terus berlangsung secara siklikal.
3. Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik,
peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi
atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya,peserta didik
harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan
pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan
bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk
mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan
pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah: (1) menentukan
tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2)
mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus
disediakan; (3)mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil
eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat
fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;(6) menarik simpulan
atas hasil percobaan; dan (7)membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil
percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya
merumuskan tujuan eksperimen yanga akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama
murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan
tempat dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan
murid (5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan dijadikan eksperimen
(6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid melaksanakan eksperimen dengan
bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan
mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara klasikal.
Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan eksperimen atau
mencoba dilakukan melalui tiga tahap, yaitu, persiapan, pelaksanaan, dan tindak
lanjut. Ketiga tahapan eksperimen atau mencoba dimaksud dijelaskan berikut ini.
a.
Persiapan
- Menentapkan tujuan eksperimen
Mempersiapkan alat atau bahan
- Mempersiapkan tempat eksperimen sesuai dengan
jumlah peserta didikserta alat atau bahan yang tersedia. Di sini guru perlu menimbang apakah peserta didik akan melaksanakan eksperimen atau mencoba
secara serentak atau dibagi menjadi beberapa kelompok secara paralel atau
bergiliran
- Memertimbangkanmasalah keamanan dan kesehatan agar dapat memperkecil atau
menghindari risiko yang mungkin
timbul
- Memberikan
penjelasan mengenai apa yang harus diperhatikan dan tahapa-tahapan yang harus
dilakukan peserta didik, termasuk hal-hal
yang dilarang atau membahayakan.
b.
Pelaksanaan
§ Selama proses eksperimen atau mencoba, guru ikut membimbing dan mengamati proses percobaan.
Di sini guru harus memberikan
dorongan dan bantuan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik agar kegiatan itu
berhasil dengan baik.
§ Selama proses
eksperimen atau mencoba,
guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan, termasuk membantu mengatasi dan memecahkan masalah-masalah
yang akan menghambat kegiatan pembelajaran.
c.
Tindak lanjut
a.
Peserta didik mengumpulkan laporan hasil eksperimen
kepada guru
b.
Guru memeriksa hasil eksperimen peserta
didik
c.
Guru memberikan umpan balik kepada
peserta didik atas hasil eksperimen.
d.
Guru dan peserta didik mendiskusikan masalah-masalah yang
ditemukan selama eksperimen.
e.
Guru dan peserta didik memeriksa dan menyimpan kembali segala
bahan dan alat yang digunakan
Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif?
Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar
sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya
merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan
memaknaikerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan
disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan
bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru
lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang
harus lebih aktif. Jika pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu
falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama
jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam
situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling
menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara
semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi
aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama.
Hasil penelitian Vygotsky membuktikan bahwa ketika
peserta didik diberi tugas untuk dirinya sediri, mereka akan bekerja
sebaik-baiknya ketika bekerjasama atau berkolaborasi dengan temannya. Vigotsky
merupakan salah satu pengagas teori konstruktivisme sosial. Pakar ini sangat
terkenal dengan teori “Zone of Proximal Development” atau ZPD. Istilah ”Proximal”
yang digunakan di sini bisa bermakna “next“. Menurut Vygotsky,
setiap manusia (dalam konteks ini disebut peserta didik) mempunyai
potensi tertentu. Potensi tersebut dapat teraktualisasi dengan cara menerapkan
ketuntasan belajar (mastery learning). Akan tetapi di antara potensi dan
aktualisasi peserta didik itu terdapat terdapat wilayah abu-abu. Guru
memiliki berkewajiban menjadikan wilayah “abu-abu”yang ada pada peserta didik itu
dapat teraktualisasi dengan cara belajar kelompok.
Seperti termuat dalam gambar, Vygostsky mengemukakan tiga
wilayah yang tergamit dalam ZPD yang disebut dengan “cannot yet
do”, “can do with help“, dan “can do alone“.
ZPD merupakan wilayah “can do with help”yang sifatnya
tidak permanen, jika proses pembelajaran mampu menarik pebelajar dari zona
tersebut dengan cara kolaborasi atau pembelajaran kolaboratif.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran kolaboratif. Dua
sifat berkenaan
dengan perubahan hubungan antara guru dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan
dengan pendekatan baru dari penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat
keempat menyatakan isi kelas atau pembelajaran kolaboratif.
- Guru dan peserta didik saling berbagi
informasi. Dengan
pembelajaran kolaboratif, peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai dan
membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi, strategi dan
konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan kondisi sosiobudaya
dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru lebih banyak sebagai
pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi dan mengawasi secara
rijid.
Contoh:
Jika guru mengajarkan topik “hidup bersama secara damai.”
Peserta didik yang mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan topik tersebut
berpeluang menyatakan sesuatu pada sesi pembelajaran, berbagi idea, dan memberi
garis-garis besar arus komunikasi antar peserta didik. Jika peserta
didikmemahami dan melihat fenomena nyata kehidupan bersama yang damai itu,
pengalaman dan pengetahuannya dihargai dan dapat dibagikan dalam jaringan
pembelajaran mereka. Mereka pun akan termotivasi untuk melihat dan mendengar.
Di sini peserta didik juga dapat merumuskan kaitan antara proses pembelajaran
yang sedang dilakukan dengan dunia sebenarnya.
a.
Berbagi tugas dan kewenangan. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas
dan kewenangan dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini
memungkinan peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri, berbagi
strategi dan informasi, menghormati antarsesa, mendoorong tumbuhnya ide-ide
cerdas, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan
menggalakkan mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
b.
Guru sebagai mediator.Pada pembelajaran atau kelas
kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu menghubungkan
informasi baru dengan pengalaman yang ada serta membantu peserta didik
jika mereka mengalami kebutuan dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka
memiliki kesungguhan untuk belajar.
c.
Kelompok peserta didik yang heterogen. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan
peserta didk yang tumbuh dan berkembang sangat penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas.
Pada kelas kolaboratif peserta didikdapat menunjukkan kemampuan dan
keterampilan mereka, berbagi informasi,serta mendengar atau membahas sumbangan
informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti ini akan muncul
“keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.
2.
Contoh Pembelajaran Kolaboratif
Guru ingin mengajarkan tentang konsep, penggolongan
sifat, fakta, atau mengulangi informasi tentang objek. Untuk keperluan
pembelajaran ini dia menggunakan media sortir kartu (card sort).
Prosedurnya dapat dilakukan seperti berikut ini.
§ Kepada peserta didik diberikan kartu
indeks yang memuat informasi atau contoh yang cocok dengan satu atau lebih
katagori.
§ Peserta didik diminta untuk mencari
temannya dan menemukan orang yang memiliki kartu dengan katagori yang sama.
§ Berikan kepada peserta didik yang kartu
katagorinya sama menyajikan sendiri kepada rekanhya.
§ Selama masing-masing katagori
dipresentasikan oleh peserta didik, buatlah catatan dengan kata kunci (point)
dari pembelajaran tersebut yang dirasakan penting.
a.
Macam-macam Pembelajaran Kolaboratif
Banyak merode yang dipakai dalam pembelajaran atau kelas
kolaboratif. Beberapa di antaranya dijelaskan berikut ini.
- JP = Jigsaw Proscedure. Pembelajaran dilakukan dengan cara peserta didik sebagai
anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda mengenai suatu pokok
bahasan. Agar masing-masing peserta didik anggota dapat memahami keseluruhan
pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian
didasari pada rata-rata skor tes kelompok.
- STAD = Student Team Achievement
Divisions.Peserta didik
dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam
setiap kelompok bertindak saling membelajarkan. Fokusnya adalah keberhasilan
seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula
keberhasilan kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu peserta
didik lainnya. Penilaian didasari pada pencapaian hasil belajar individual
maupun kelompok peserta didik.
- CI = Complex Instruction.Titik tekan metode ini adalam pelaksanaan suatu
proyek yang berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains,
matematika, dan ilmu pengetahuan sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan
ketertarikan semua peserta didiksebagai anggota kelompok terhadap pokok
bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual
(menggunakan dua bahasa) dan di antara para peserta didik yang sangat
heterogen. Penilaian didasari pada proses dan hasil kerja kelompok.
- TAI = Team Accelerated Instruction. Metodeini merupakan kombinasi antara
pembelajaran kooperatif/kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara
bertahap, setiap peserta didik sebagai anggota kelompok diberi soal-soal yang
harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian
bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan
benar, setiap peserta didik mengerjakan soal-soal berikutnya. Namun jika
seorang peserta didik belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan
benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan
soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasari pada hasil
belajar individual maupun kelompok.
- CLS = Cooperative Learning Stuctures. Pada penerapan metode pembelajaran
ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua peserta didik (berpasangan).
Seorang peserta didik bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee.
Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila
jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan
terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua
peserta didik yang saling berpasangan itu berganti peran.
- LT = Learning Together. Pada metode ini kelompok-kelompok
sekelas beranggotakan peserta didik yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok
bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok
hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada
hasil kerja kelompok.
- TGT = Teams-Games-Tournament. Pada metode ini, setelah belajar
bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba dengan
anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian
didasari pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok peserta didik.
- GI = Group Investigation. Pada metode ini semua anggota
kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan
pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan
dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana
perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian didasari pada proses
dan hasil kerja kelompok.
- AC = Academic-Constructive Controversy. Pada metode ini setiap anggota
kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual
yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota
sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini
mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran
kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan.
Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok
mempertahankan posisi yang dipilihnya.
- CIRC = Cooperative Integrated Reading
and Composition. Pada metode
pembelajaran ini mirip dengan TAI. Metode pembelajaran ini menekankan
pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para
peserta didik saling menilai kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik
secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.
b.
Pemanfaatan Internet
Pemanfaatan internet sangat dianjurkan dalam pembelajaran
atau kelas kolaboratif. Karena memang, internet merupakan salah satu
jejaring pembelajaran dengan akses dan ketersediaan informasi yang luas dan
mudah. Saat ini internet telah menyediakan diri sebagai referensi yang
murah dan mudah bagi peserta didik atau siapa saja yang hendak mengubah wajah
dunia.
Penggunaan internet disarakan makin mendesak sejalan
denan perkembangan pengetahuan terjadi secara eksponensial. Masa depan adalah
milik peserta didik yang memiliki akses hampir ke seluruh informasi tanpa batas
dan mereka yang mampu memanfaatkan informasi diterima secepat mungkin.
0 comments:
Posting Komentar